Kamis, 17 April 2014
Posted by Unknown on 12.55
with No comments so far
Dayah berasal dari kata zawiyah, kata ini dalam bahasa Arab mengandung makna sudut, atau pojok Mesjid. Kata zawiyah mula-mula dikenal di Afrika Utara pada masa awal perkembangan Islam, zawiyah yang dimaksud pada masa itu adalah satu pojok Mesjid yang menjadi halaqah para Sufi, mereka biasanya berkumpul bertukar pengalaman, diskusi, berzikir dan bermalam di Mesjid. Dalam khazanah pendidikan Aceh, istilah zawiyah kemudian berubah menjadi Dayah, seperti halnya perubahan istilah Madrasah menjadi Meunasah. Pada era Islam pertama masuk ke Nusantara yaitu masa Kerajaan Pereulak telah dikenal adanya temapat-tempat untuk menekuni dan mendiskusikan ajaran agama, salah satu tempat yang terkenal kala itu adalah Zawiyah Cot Kala, tempat inilah yang merupakan lembaga Pendidikan Agama pertama di Nusantara
Merujuk kepada Sejarah Kerajaan Islam Pereulak, Dayah secara historis telah ada sejak abad IX Masehi, demikian pendapat Tgk Muslim Ibrahim dalam tulisannya masyarakat Yang Adil dan Bermartabat. Keberadaan Dayah di Aceh telah ada bersamaan dengan masuknya Islam ke Aceh pada akhir masa kekhalifahan Usman bin Affan. Beberapa Dayah yang berkembang saat itu diantaranya; Dayah Cot Kala, Dayah Kuta Karang, Dar as-syariah Mesjid Raya, namun semua Dayah ini telah diobrak-abrik Belanda. Pada abad 5 Hijriah, Mesir menemukan kapal buatan Aceh yang terdampar di Laut Tengah. Pada masa Iskandar Muda, sebuah kapal Spanyol rusak di perairan Sabang, kemudian diderek ke pantai dengan gajah dan diperbaiki oleh satri-santri dayah Dar as-syariah.
Menurut Abdul Qadir Djailani dalam bukunya Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, Samudera Pasai merupakan pusat pendidikan Islam pertama di Indonesia dan dari sini berkembang ke berbagai daerah lain di Indonesia, hingga sampai ke Pulau Jawa. Salah seorang santri alumni Samudera Pasai adalah Maulana Malik Ibrahim, ia datang ke Gresik Jawa Timur pada tahun 1399 dan wafat pada tahun 1419, setelah melakukan dakwah selama dua puluh tahun lamanya, sebelumnya, Maulana Malik Ibrahim bertugas sebagai Muballigh di daerah Campa yang merupakan daerah Kesultanan Samudera Pasai, setelah Maulana Malik Ibrahim wafat, Dayah juga diteruskan oleh anak beliau Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Secara pasti tidak diketahui kapan sebenarnya Dayah masuk ke Aceh. Namun, A. Hasyimi seorang Sejarawan Aceh, beliau berpendapat bahwa Dayah masuk ke Aceh sejak awal berdirinya Kerajaan Islam Pereulak pada Muharram 225 H/840 M. Salah satu penyebab sulitnya mengetahui dengan pasti kapan sebenarnya Dayah masuk ke Aceh karena minimnya penelitian dan perhatian yang cukup untuk menggali sejarah perkembangan Dayah, walaupun Anthony Reid dalam bukunya The Rope God, membahas tentang lembaga ini, tetapi hanya dibahas perkembangan pada masa abad ke-19 M dan pertengahan abad ke 20 M. Tidak hanya Anthony Reid, Hasbi Amiruddin dalam bukunya Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, juga membahas tentang Dayah tetapi lebih terfokus pada peranan ulamanya, bukan pada Dayah itu sendiri.
Jika merujuk pada hasil seminar tentang masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara yang dilaksanakan di Rantau Pereulak pada tanggal 25-30 September 1980, mengenai tahun berdirinya Kerajaan Islam Pereulak sebagai Kerajaan Islam tertua, maka Dayah Cot Kala merupakan Dayah pertama di Aceh bahkan di Asia Tenggara. Setelah lahirnya Dayah Cot Kala, maka sesuai dengan tujuan pendirian dayah sendiri, yaitu untuk mencetak kader ulama sebagai petunjuk ummat, maka Dayah Cot Kala kala itu telah melahirkan para sarjananya yang dapat menyebarkan Islam ke seluruh Aceh sehingga lahirlah Dayah-dayah baru seperti Dayah Serele di bawah Pimpinan Tengku Syekh Sirajuddin yang didirikan pada tahun 1012 sampai dengan 1059 M, Dayah Blang Priya yang dipimpin oleh Tengku Ja`kob yang didirikan antara tahun 1155-1233 M, Dayah Batu Karang di Kerajaan Tamiang yang dipimpin oleh Tengku Ampon Tuan, Dayah Lam Keuneuen dari Kerajaan Lamuria Islam di bawah pimpinan Tengku Syekh Abdullah Kan`an yang didirikan antara 1196 sampai dengan 1225 M. Dayah Tanoeh Abee antara Tahun 1823-1836 M dan Dayah Tiro di Kecamatan Tiro Kabupaten Pidie antara tahun 1781-1795 M, dan dayah-dayah lainnya yang tersebar di seluruh Aceh di kala itu. Perkembangan Dayah juga dilakukan pada masa kemunduran Kerajaan Aceh Darussalam (Abad ke 18 dan ke 19 M). Dayah yang dibangun pada masa tersebut adalah Dayah Tgk Syik Kuta Karang, Dayah Lam Birah, Dayah Lamnyong, Dayah Lambhuk, Dayah Krueng Rumpet, mengenai tahun pendirian dayah tersebut belum didapat data yang pasti.
Keberadaan Dayah pada masa perang melawan Belanda mengalami kemunduran, ini karena seluruh Ulama Dayah dan santrinya itu ikut berjuang melawan penjajah Belanda, sebagian besar para Ulama dan Tengku dayah syahid di medan perang, di antaranya Tengku Chik Haji Ismail anak Tengku Chik Pante Ya`kop (Pendiri Dayah Tgk Chik Pante Gelima), beliau syahid dalam peperangan melawan Belanda dalam mempertahankan Kuta Glee (Kawasan Batee Iliek Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen), bersama dengan Tengku Chik Lueng Kebue dan Tengku Syiek Kuta Glee.
Faktor lain yang menghambat perkembangan Dayah saat itu disebabkan karena Belanda melakukan upaya-upaya untuk menghambat pendidikan Agama Islam, serta Belanda menyebarkan pendidikan Barat di Aceh, sehingga menyebabkan Dayah terbengkalai. Selain itu, Belanda melakukan pembakaran terhadap Dayah-dayah dan membunuh seluruh staf pengajarnya serta membumihanguskan seluruh Perpustkaaan yang ada di Dayah, jika ada dayah yang masih bertahan itupun dibangun di daerah terisolir dan jauh dari pantauan Belanda.
Setelah usainya peperangan pada tahun 1904 M, barulah Dayah-dayah yang telah terbengkalai tersebut dibangun dan dibenahi kembali untuk dapat digunakan kembali ssebagai lembaga pendidikan, adapun Dayah yang dibangun kembali setelah perang Aceh usai antara lain, di Aceh Besar: Dayah Tanoeh Abee, Dayah Lambirah oleh Tengku Syik Lambirah, sedangkan adiknya Tengku Haji Ja`far (Tengku Syik Lamjabat) membangun Dayah Jeureula, selanjutnya juga dibenahi Dayah Lamnyong, Dayah Lambhuk, Dayah Ulee Susu, Dayah Indrapuri, Dayah Lamsenouen, Dayah Krueng Kale, Dayah Montasik dan masih banyak lagi Dayah-Dayah yang dibangun di Daerah Aceh Besar. Tidak hanya di kawasan Aceh Besar, Pidie, Aceh Urata, Aceh Barat dan beberapa daerah lainnya di Aceh juga ikut membenahi kembali Dayah yang hancur atau ditinggalkan karena perang kala itu.
Perlu dicatat, saat itu banyak Ulama yang ikut berjuang namun tidak sedikit juga diantara mereka yang mengasingkan diri keluar Aceh, diantaranya ke Negeri Keudah (Malaysia Sekarang). Salah satu tempat penting mereka berkumpul adalah Negeri Yan di Keudah, di sinilah mereka melanjutkan tradisi pendidikan Dayah selama perang Aceh berlangsung, setelah perang reda, mereka yang tadinya mengasingkan diri segera pulang untuk kembali melanjutkan dan membangun kembali sistem pendidikan Dayah yang telah mengalami kemunduran pada saat perang berkecamuk, di samping tokoh Ulama yang pulang dari negeri Yan, ada juga yang langsung pulang dari Mekkah, seperti Tengku Haji Muhmmad Thahir Cot Plieng, bahkan beliau pernah bertemu dengan Snouck Hogrounje saat sama-sama berada di Mekkah.
Setelah perang usai Dayah mengalami perkembangan, walaupun perkembangan yang terjadi pada waktu itu tidak begitu berarti, karena pada saat itu para Ulama Dayah disibukkan dengan perlawanan melawan Jepang, serta kebijakan Jepang saat itu menerapkan kerja paksa serta mengabaikan sisi-sisi lain dalam kehidupan masyarakat, termasuk pendidikan di dalamnya. Beberapa hal tersebut membuat Dayah dalam kurun waktu 3,5 Tahun masih jalan di tempat.
Pada masa kemerdekaan mulai tahun 1945 M, perkembangan Dayah sudah menampakkan hasil yang cukup baik, ini dapat dilihat dari perkembangan Dayah Darusslamam Labuhan Haji Acah Selatan, Dayah MUDI MESRA Samalanga, Dayah BUDI Lamno, dan Dayah dayah yang lain. Tidak hanya Dayah, Sekolah pun mulai berkembangan, sekolah bersifat Negeri dengan dukungan dan bantuan dari pemerintah sedangkah Dayah umumnya bersifat pribadi yang dikelola oleh Pimpinan Dayah sendiri dengan bentuan swadaya masyarakat.
Posted by Unknown on 12.29
with No comments so far
Seulimum, Aceh Besar – Bagi sebagian masyarakat Aceh, terutama para mahasiswa, masih banyak yang tidak mengetahui tentang Perpustakaan Tanoh Abee. Perpustakaan ini berada di Seulimum yang saat ini dikelola oleh Ummi, istri Teungku Chik Tanoh Abee. Untuk berkunjung ke perpustakaan kuno ini kita harus menempuh perjalanan yang sedikit panjang.
Perpustakaan Tanoh Abee atau yang disebut juga Zauyah atau Tanoh Abee adalah milik pribadi keturunan Teungku Chik Tanoh Abee Al-Fairusi Al-Baqdadi (al-Baghdadi). Di dalam perpustakaan ini banyak tersimpan manuskrip-manuskrip tentang Islam. Seperti ilmu Fiqih, ilmu Tasawuf, ilmu Ibadah, ilmu Penciptaan Alam Semesta dan masih banyak ilmu-ilmu yang dibahas lainnya.
Perpustakaan ini sudah ada sejak abad 16 M. Uniknya dari perpustakaan ini adalah pesan Abu Tanoh Abee yang diteruskan oleh pihak keluarga, yaitu tidak membolehkan para muslimah untuk melihat kitab-kitab yang ada di dalam perpustakaan tersebut.
“Begitulah amanah abu kepada kami,” kata Umi yang diiyakan oleh seorang santri ketika kami mencoba menanyakan maksud dari larangan tersebut.
Semasa perang Aceh melawan Belanda yang berkecamuk dari tahun 1873-1913 M, Dayah (disebut juga Zauyah) Tanoh Abee tersohor sebagai salah satu tempat konsentrasi laskar Aceh. Di dalam dayah ini tersimpan banyak karya-karya klasik ulama-ulama nusantara bahkan Timur Tengah, yang semuanya itu disalin kembali oleh Abu Tanoh Abee. Manuskrip-manuskrip kuno itu berjumlah 6000 judul kitab.
“Sebagiannya ada yang dicuri oleh Belanda ketika perang berkecamuk, rusak akibat tersimpan lama di gua saat kitab-kitab ini disimpan untuk menjaga agar kitab-kitab tersebut tidak dicuri atau dibakar oleh Belanda, dan banyak juga yang terbakar akibat perang,” kata santri yang memandu kami masuk ke dalam perpustakaan kuno tersebut.
Umi kembali menjelaskan bahwa sebagian kitab ini juga sempat berada di sebuah dayah di Bitai, namun, akibat tsunami 2004 silam, kitab-kitab kuno itupun lenyap disapu gelombang tsunami. “Ada juga sebahagiannya dikubur oleh Abu (panggilan untuk Teungku Chik Tanoh Abee-red.), karena takut isi kitab-kitab tersebut dipelajari atau diamalkan oleh masyarakat awam (karena isinya sangat tidak mampu dipahami oleh manusia biasa,bisa menyebabkan murtad-red).”
Menurut catatan yang ada, saat ini manuskrip-manuskrip kuno ini dijaga dan dirawat oleh generasi ke sembilan Keluarga Al-Fairusi. Namun, sebenarnya ada juga karya-karya baru yang berada di perpustakaan ini. Manuskrip-manuskrip kuno ini sebenarnya tidak untuk dipelajari namun hanya dijadikan sebagai koleksi. Dan hanya beberapa kitab saja yang diperbolehkan dilihat dan dibaca. Selebihnya tersimpan rapat di dalam perpustakaan yang juga digunakan sebagai tempat pengajian tersebut.
Lantas, kenapa karya-karya ulama itu tidak boleh dibaca bahkan dipegang oleh orang lain?
Menurut istri Abu, atau akrab dipanggil oleh masyarakat sekitar sebagai Umi ini, hal ini sudah menjadi wasiat dari mendiang Abu Tanoh Abee. Bahkan, ada kitab-kitab yang berada satu lemari di dalam perpustakaan itu yang tidak boleh dirawat atau dibersihkan oleh keluarga beliau.
Menurut istri Abu, atau akrab dipanggil oleh masyarakat sekitar sebagai Umi ini, hal ini sudah menjadi wasiat dari mendiang Abu Tanoh Abee. Bahkan, ada kitab-kitab yang berada satu lemari di dalam perpustakaan itu yang tidak boleh dirawat atau dibersihkan oleh keluarga beliau.
“Pernah suatu hari, datang seorang peneliti asing ke rumah. Peneliti tersebut ingin melihat sendiri kitab-kitab berbahasa Arab yang menjadi koleksi Teungku Chik Tanoh Abee tersebut. Namun, setelah selesai membaca salah satu kitab tersebut, si peneliti tersebut terheran-heran dengan isi kitab tersebut, yang diluar batas ilmunya. Peneliti itupun akhirnya kagum terhadap kitab tersebut,” jelas Umi panjang lebar dengan logat melayunya yang khas.
Saat ini kitab-kitab ini sudah ditangani oleh pihak PKPM dan sebuah lembaga yang berada di Jepang. Oleh pihak Jepang, demi menjaga manuskrip-manuskrip kuno ini, kitab-kitab tersebut dibawa ke Jepang untuk disalin dan dicetak kembali tanpa mengubah isi untuk menjaga dari termakan oleh usia dan rayap.
Seperti dikatakan oleh Umi, di Zauyah ini banyak terdapat karya-karya ulama-ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Karya-karya klasik yang tersimpan disini antara lain milik Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nurruddin ar-Raniry, Abdurrauf As-Singkili (Teungku Syiah Kuala), Al-Ghazali dan lain sebagainya.
Langganan:
Postingan (Atom)